Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allah Ta’ala.
Dan
seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang sempurna
kepada Allah Ta’ala sampai dia benar-benar memahami pembahasan ini
dengan baik[1].
Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah ini akibatnya
sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini akan
mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang didirikan
di atasnya.
Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Barangsiapa
yang ingin meninggikan bangunannya maka hendaknya dia manguatkan dan
mengokohkan pondasinya, serta bersungguh-sungguh memperhatikannya.
Karena sesungguhnya ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan
kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya)
derajat (dalam Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan,
semakin kuat pondasi tersebut maka dia akan (mampu) menopang bangunan
yang berdiri di atasnya, kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada
bangunan maka (akan) mudah diperbaiki. (Adapun) jika pondasinya tidak
kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) ditegakkan (di atasnya) serta
tidak kokoh, dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi
tersebut maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh. Orang
yang mengenal (Allah Ta’ala dan agama-Nya) perhatian (utama)nya
(tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya),
sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha)
meninggikan bangunan tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga
tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمَنْ
أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ
مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي
نَارِ جَهَنَّمَ
“Maka
apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa
kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang
mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu
jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (QS At Taubah:109)”[2].
Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu[3].
Imam Ibnu Katsir berkata, “Asal
(makna) al-ilhad dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan
(berbuat) menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh
penggunaannya) adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan,
(dinamakan demikian) karena liang lahad tersebut menyimpang dari
pertengahan (lubang) kuburan ke arah kiblat”[4].
Sedangkan
pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah
Ta’ala adalah seperti yang dipaparkan oleh imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah
dalam ucapan beliau, “Hakikat
al-ilhad dalam hal ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat
Allah dari (pemahaman) yang benar, atau memasukkan ke dalam makna
nama-nama dan sifat-sifat tersebut sesuatu yang bukan artinya, atau
memalingkannya dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad
(dalam masalah ini), barangsiapa yang melakukan perbuatan ini maka
sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allah”[5].
Maka
penyimpangan dalam hal ini adalah dengan menolak nama-nama dan
sifat-sifat Allah, atau mengingkari kandungan maknanya, atau
menyelewengkan maknanya dari (arti) yang benar dengan berbagai macam
pentakwilan (memalingkan makna dalil tanpa alasan yang benar) yang
rusak, atau menjadikan nama-nama-Nya untuk nama-nama makhluk[6].
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ
الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ
فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya
milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka
berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka lakukan” (QS al-A’raaf:180).
Dalam
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyampaikan dua ancaman keras bagi
orang-orang yang menyimpang dalam memahami nama-nama-Nya yang maha indah
serta sifat-sifat maha sempurna yang dikandung nama-nama tersebut[7]:
Ancaman yang pertama: bentuk perintah dalam firman-Nya (yang artinya),
“Tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya”[8].
Perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini. Sebagaimana makna firman-Nya,
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah
mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh
angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat
perbuatan mereka)” (QS al-Hijr:3)[9].
Ancaman yang kedua: dalam firman-Nya (yang artinya),
“Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”[10]
Artinya: mereka akan mendabat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut[11].
Karena
keras dan besarnya ancaman Allah Ta’ala bagi orang yang melakukan
perbuatan ini, maka kita wajib menjauhkan diri dari penyimpangan ini,
serta menjauhi orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini[12].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا
لَمْ يُنزلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا
تَعْلَمُونَ}
“Katakanlah:”Rabb-ku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu dan (mengharamkan
perbuatan) berkata (atas nama) Allah dengan sesuatu yang tidak kamu
ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)” (QS al-A’raaf: 33).
Dalam
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan besarnya keburukan dan dosa
perbuatan berkata atas nama-Nya tanpa landasan ilmu yang bersumber dari
petunjuk-Nya dan petunjuk rasul-Nya, yang ini termasuk berbicara
tentang nama-nama dan sifat-Nya tanpa landasan ilmu yang benar, karena
perbuatan ini merupakan kejahatan, sikap lancang dan melampaui batas
terhadap hak Allah[13].
Bahkan
dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan kerusakan perbuatan tersebut di
atas perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala dengan makhluk), semoga
Allah Ta’ala melindungi kita semua dari semua perbuatan tersebut.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam
ayat ini) Allah menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang
diharamkan-Nya dalam empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan
(dibandingkan tiga tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang
nampak maupun tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar
larangannya dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman
(aniaya), kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari
dua tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allah Ta’ala (dengan
makhluk), kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya
dari semua tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allah tanpa
(landasan) ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama)
Allah Ta’ala tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami)
nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam
(memahami) agama dan syariat-Nya”[14].
Di tempat lain beliau berkata, “Berkata
atas (nama) Allah tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami)
nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, atau menyifati-Nya
dengan selain sifat-sifat yang ditetapkan-Nya dan ditetapkan oleh
rasul-Nya untuk diri-Nya, ini adalah (bentuk) penympangan dan
penentangan terbesar terhadap hikmah Allah yang memiliki segala perintah
dan penciptaan, dan (sekaligus) merupakan pelecehan terhadap sifat
rububiyah (maha mengatur dan menguasai alam semesta) dan sifat-sifat
yang khusus bagi-Nya. Kalau perbuatan tersebut di lakukan setelah
mengetahui (besarnya keburukannya) maka itu merupakan penentangan (yang
nyata terhadap-Nya), dan lebih buruk dari perbuatan syirik serta lebih
besar dosanya di sisi Allah Ta’ala. Karena orang yang berbuat syirik
tapi (dia) menetapkan sifat-sifat Allah lebih baik dari orang yang
menolak dan menetang sifat-sifat kesempurnaan-Nya!”[15].
Al-ilhad
(penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah bentuknya
bermacam-macam, diantaranya ada yang hukumnya sampai pada tingkat
kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan apa
yang ditunjukkan dalam dalil-dalil syariat[16].
1. Mengingkari
sebagian dari nama-nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat dan
hukum-hukum yang dikandung nama-nama tersebut, sebagaimana yang
dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan
sifat-sifat Allah Ta’ala) dari kelompok jahmiyah dan selain mereka.
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad karena kita wajib mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Allah serta sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya
yang dikandung nama-nama tersebut. Maka mengingkari hal tersebut
termasuk penyimpangan dalam masalah ini.
2. Menjadikan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya serupa dengan nama-nama dan sifat-sifat
makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang
menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk).
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad karena menyerupakan Allah Ta’ala dengan
makhluk adalah kebatilan dan keburukan yang besar, yang tidak mungkin
ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahkan justru dalil-dalil tersebut menegaskan
kebatilan dan kerusakan perbuatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS asy-Syuura:11).
فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS an-Nahl:74).
3. Menetapkan
bagi Allah Ta’ala nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya,
sebagaimana perbuatan orang-orang Nashrani yang menamakan Allah Ta’ala
dengan nama “bapak”, juga perbuatan orang-orang ahli filsafat yang
menamakan-Nya dengan al-‘illatul faa’ilah (penyebab yang berbuat).
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad karena penetapan nama-nama Allah bersifat
tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan hadits yang
shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi), karena Dia-lah yang maha
mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan
keagungan-Nya.
4. Menjadikan
untuk berhala nama-nama yang diambil dari nama-nama Allah Ta’ala,
sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk
berhala mereka al-‘uzza dari nama Allah “al-‘Aziz” (Yang Maha Mulia dan
Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Yang
berhak disembah semata-mata), menurut salah satu pendapat.
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allah Ta’ala
tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata,
sebagaimana firman-Nya,
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu” (QS al-A’raaf:180).
Sebagaimana
hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allah Ta’ala semata,
karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi
kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka
hanya Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak
boleh dipalingkan kepada selain-Nya[17].
5. Menyifati
Allah Ta’ala dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan,
padahal Allah Ta’ala Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat
tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang
mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ
“Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya” (QS Ali-‘Imraan:181).
Juga ucapan kotor mereka,
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
“Tangan Allah terbelenggu” (QS al-Maaidah:64)[18].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim al Buthoni, MA
[yy/muslim.or.id/foto: al-habib.info]
[1] Lihat kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 17).
[2] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 175).
[3] Lihat kitab “an-Nihayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (4/450).
[4] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/357).
[5] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/30).
[6] Ibid.
[7] Lihat kitab “Adhwa-ul bayaan” (2/146).
[8] Ibid.
[9] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (13/285).
[10] Lihat kitab “Adhwa-ul bayaan” (2/146).
[11] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 309).
[12] Ibid.
[13] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 287) dan “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 34).
[14] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (1/38).
[15] Kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 100).
[16] Lihat kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 50).
[17]
Keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin dalam kitab
“al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 49-50) dengan ringkas dan penyesuaian.
Lihat juga keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Bada-i’ul fawa-id”
(179-180).
[18] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (179).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !