Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) liberal milik Syafii Maarif, Maarif
Institute, menerbitkan dua buku materi pengayaan pendidikan karakter
dengan semangat pengarusutamaan nilai-nilai toleransi, anti kekerasan
dan inklusif. Keduanya berjudul Pendidikan Karakter Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam Untuk SMA dan Pendidikan Karakter Mata Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA. Buku pertama setebal 148 halaman,
sedangkan buku kedua setebal 93 halaman.
Penulis materi pengayaan untuk PAI adalah Dian Lestari, guru PAI di SMA
Negeri 2 Pandegalang dan Hamid Supriyanto, guru PAI di SMA Negeri 3
Yogyakarta. Sedangkan materi pengayaan untuk PKn ditulis oleh Benny
Ahmad Benyamin, seorang guru PKn di SMA Negeri 1 Cianjur dan Joko Budi
Santoso, guru PKn di SMA Negeri 7 Surakarta.
Dua buku itu diterbitkan Maarif Institute pada April 2012 bekerjasama
dengan lima instansi pemerintah. Diantaranya Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Kota Surakarta, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta,. Dinas
Pendidikan Kabupaten Pandeglang, dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur dan
LKBN ANTARA.
Maarif Institute merasa perlu menerbitkan dua buku ini dengan alasan
saat ini makin menguat gejala anti nasionalisme dan anti kebangsaan
karena adanya penetrasi gerakan-gerakan radikal dari luar yang masuk ke
kalangan pelajar. Tak tanggung-tanggung, Maarif Institute menuding
organisasi ekstrakurikuler di sekolah, Kerohanian Islam (Rohis), sebagai
biang menguatnya radikalisme di kalangan pelajar itu.
“Saya katakan ada semacam penetrasi suatu gerakan dengan arus yang cukup
kuat yang masuk ke level ekstrakurikuler siswa. Ada yang masuk lewat
Rohis atau mungkin di luar organisasi yang dilakukan di luar sekolah,”
kata Direktur Program Pengembangan Kajian Islam Maarif Institute, M.
Abdullah Darraz.
Karena itu melalui buku ini, Maarif Institute berharap pihaknya bisa
membantu guru dan sekolah untuk menguatkan kembali ideologi Pancasila,
kebangsaan dan nasionalisme yang makin pudar.
Sarat Muatan Liberal
Maarif Institute secara resmi meluncurkan dua buku ini di sebuah hotel
di kawasan Cikini pada Jumat (27/4/2012) lalu. Peluncuran buku dihadiri
oleh Wakil Menteri Pendidikan Bidang Pendidikan Prof. Dr. Ir. H. Musliar
Kasim, M.S. Menurut Daraz, buku ini dicetak sebanyak empat ribu
eksemplar dan akan dibagikan ke 50 sekolah di empat kabupaten, Cianjur,
Pandeglang, Solo dan Yogyakarta. Sasaran penggunanya adalah para guru
mata pelajaran PAI dan PKn di SMA tersebut.
Lantas, adakah yang perlu diwaspadai dari dua buku pengayaan ini?.
Jawabnya adalah ada. Seperti tertulis dari judul, “Mengarusutamakan
Nilai-nilai Toleransi, Anti Kekerasan dan Inklusif”, buku ini sudah bisa
ditebak akan membawa guru dan siswa ke arah mana. Tiga isu tersebut
adalah isu yang dilontarkan kelompok liberal untuk meliberalisasi umat
Islam sekaligus membendung arus Islamisasi di masyarakat, termasuk di
kalangan pelajar. Pihak yang paling berkepentingan dalam hal ini adalah
musuh-musuh Islam.
Pada laporan ini akan dibedah buku pengayaan untuk mata pelajaran PAI
saja. Ada tiga kelompok materi utama dalam dua buku ini, yakni
Toleransi, Anti Kekerasan dan Inklusifitas. Kelompok materi Tolerasi
dibagi menjadi 5 materi: Toleransi, Hak Beragama, Hak Menjalankan
Praktik Keagamaan, Dakwah: Mengajak Tanpa Memaksa, dan Berlaku Adil
terhadap Perbedaan. Kelompok Materi Anti Kekerasan dibagi menjadi lima
materi: Anti Kekerasan, demokrasi, memehami dan Mengelola Konflik,
mengakui Kesalahan, dan Memberi Maaf. Sedangkan kelompok materi
Inklusifitas dibagi menjadi empat materi: Berlomba dalam Kebaikan,
Menghargai Karya dan Budaya Bangsa Lain, Inklusif Sebagai Semangat
Peradaban Islam, dan Karakter Inklusif Islam Nusantara.
Masalah Toleransi dan Pluralisme
Masalah toleransi menempati urutan pertama dalam pembahasan buku ini.
Seolah-olah mereka ingin menyampaikan pesan bahwa umat Islam tidak
mempunyai rasa toleransi terhadap penganut agama lain. Lihatlah
bagaimana penyusun buku ini membuat cerita rekaan yang mengada-ada
dengan judul “Bertamasya Jadi Gak Asyik” (hal. 2). Digambarkan
di sana seolah-olah siswa-siswa SMA yang ingin bertamasya rebutan
memutar musik di dalam bus: yang Muslim ingin nasyid, yang Kristen ingin
lagu–lagu gereja, dan yang lain ingin lagu pop-rock. Karena mereka
berebut, sang sopir akhirnya menyetel lagu Pancaran Sinar Pertamax (PSP). Tamasya menjadi tidak menyenangkan, kata penulis buku.
Karena materi pengayaan ini untuk PAI, untuk menjustifikasi apa yang
mereka tulis dikutiplah ayat-ayat dalam Al-Quran yang mereka klaim
sebagai ‘ayat toleransi’, diantaranya QS. Al Hujurat [49]: 12, 13, dan
Al Maidah [5]: 8. Padahal kalau dibuka di dalam tafsir Al-Quran,
misalnya kitab Shafwatut Tafaasir karya Ali Ash-Shabuni, tidak
ada satu katapun yang menyinggung-nyinggung soal toleransi dengan makna
yang dikehendaki dalam buku ini.
Parahnya lagi, buku ini mencoba mengenalkan istilah pluralisme kepada
para siswa (hal. 6). Padahal sebagai sebuah paham, pluralisme telah
diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya. Maarif
Institute mencoba mencari-cari ayat untuk membenarkan adanya isyarat
pluralisme agama di dalam Islam. QS Al Kafirun [109]: 6, QS. Al Maidah
[5]: 48 dan QS Yunus [ 10]: 99 mereka jadikan sebagai dalil pluralisme
agama. Padahal sekali lagi, tiga ayat itu tak ada sangkut pautnya dengan
pluralisme.
“Itu ngga benar penggunaan Surat Al Kafirun untuk dalil pluralisme”,
kata anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat, Ustadz Fahmi
Salim, MA.
Jika dilihat asbabun nuzulnya, ayat itu terkait tawaran kaum Qurays
kepada Rasululullah supaya sehari menyembah Allah dan sehari menyembah
tuhan mereka. “Ini ditolak Rasululllah, beliau menolak sinkretisme,”
kata alumni Pasca Sarjana Jurusan Tafsir dan Ilmu Al Qur’an Universitas
Al Azhar, Kairo, Mesir itu. Demikian pula penggunaan Surat Al Maidah
ayat 48, juga dinyatakan tidak tepat sebagai dalil pluralisme agama.
Masalah Kebebasan Beragama
Hal yang paling fatal dalam topik ini adalah ketika mereka mengartikan
ayat “la ikraha fiddien” dengan arti “tidak ada paksaan dalam beragama”
(hal 17). Padahal terjemahan resmi Kementerian Agama terhadap ayat 256
surat al Baqarah itu adalah, “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam)”. Sangat berbeda, kalimat “tidak ada paksaan dalam beragama”
dan “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. Tidak ada
paksaan dalam beragama membawa konsekuensi orang boleh tidak beragama
atau jika orang beragama dia tidak dipaksa untuk menjalankan syariat
agama itu. Sedangkan kalimat kedua, artinya memang Islam tidak memaksa
orang di luar Islam untuk memeluk agama Islam. Berbeda sekali bukan?.
Buku
pengayaan ini juga mengajak siswa SMA ke isu-isu yang sangat sensitif
bagi masyarakat Islam secara umum. Seperti soal Syiah dan pendirian
rumah ibadah (hal. 26-31). Penulis buku mengutip berita soal pembakaran
rumah milik seorang Syiah dan Sampang, Madura, beberapa waktu lalu.
Digambarkan di sana bahwa tindakan kekerasan itu dengan alasan apapun
tidaklah dapat dibenarkan. Selain Syiah mereka juga membela Ahmadiyah.
Padahal persoalan Syiah dan Ahmadiyah, bukanlah persoalan kekebasan menjalankan agama. Melainkan soal penodaan terhadap agama Islam. Kebebasan dengan penodaan tentu berbeda jauh.
Begitu pula dengan pendirian rumah ibadah. Penulis seolah-olah ingin menyampaikan message bahwa umat Islam dimanapun tidak toleran dan menghambat pendirian rumah ibadah penganut agama lain. Isu ini diangkat karena memang ada persoalan pendirian gereja di sejumlah wilayah seperti di Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Padahal di lapangan, pendirian rumah ibadah penganut agama lain itu dilakukan tidak dengan prosedur yang benar. Pemalsuan KTP dan memberi uang suap kepada warga agar mereka membubuhkan tanda tangan persetujuan adalah dua modus yang nyaris sama terjadi dimana-mana.
Masalah Jihad dan Kekerasan
Hal lain yang perlu dikritisi dari buku ini adalah soal jihad dan kekerasan (hal. 22, 55-61). Pada halaman 56 penulis menampilkan data pengeboman sejak tahun 2000 hingga 2009. Mereka ingin menanamkan pada siswa bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang membenarkan tindak kekerasan dan pengrusakan di muka bumi. Adapun jihad mereka maknai sebatas mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang kebatilan dan keburukan dengan mangharap rida Allah.
Memang boleh saja definisi itu disematkan, sebagai makna bahasa (lughawi) dari kata Jihad. Tetapi menurut Doktor Muhammad Khoir Haikal dalam disertasinya, “Al Jihad wal Qital fi Siyasah Syar’iyah”, kata jihad sudah bukan lagi istilah bahasa, tetapi juga istilah syar’i yang harus dimaknai juga secara syar’i. Karena itu lebih tepat jika jihad dimaknai sebagai, “Mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung, atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain..”.
Padahal persoalan Syiah dan Ahmadiyah, bukanlah persoalan kekebasan menjalankan agama. Melainkan soal penodaan terhadap agama Islam. Kebebasan dengan penodaan tentu berbeda jauh.
Begitu pula dengan pendirian rumah ibadah. Penulis seolah-olah ingin menyampaikan message bahwa umat Islam dimanapun tidak toleran dan menghambat pendirian rumah ibadah penganut agama lain. Isu ini diangkat karena memang ada persoalan pendirian gereja di sejumlah wilayah seperti di Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Padahal di lapangan, pendirian rumah ibadah penganut agama lain itu dilakukan tidak dengan prosedur yang benar. Pemalsuan KTP dan memberi uang suap kepada warga agar mereka membubuhkan tanda tangan persetujuan adalah dua modus yang nyaris sama terjadi dimana-mana.
Masalah Jihad dan Kekerasan
Hal lain yang perlu dikritisi dari buku ini adalah soal jihad dan kekerasan (hal. 22, 55-61). Pada halaman 56 penulis menampilkan data pengeboman sejak tahun 2000 hingga 2009. Mereka ingin menanamkan pada siswa bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang membenarkan tindak kekerasan dan pengrusakan di muka bumi. Adapun jihad mereka maknai sebatas mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang kebatilan dan keburukan dengan mangharap rida Allah.
Memang boleh saja definisi itu disematkan, sebagai makna bahasa (lughawi) dari kata Jihad. Tetapi menurut Doktor Muhammad Khoir Haikal dalam disertasinya, “Al Jihad wal Qital fi Siyasah Syar’iyah”, kata jihad sudah bukan lagi istilah bahasa, tetapi juga istilah syar’i yang harus dimaknai juga secara syar’i. Karena itu lebih tepat jika jihad dimaknai sebagai, “Mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung, atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain..”.
Isu
jihad, terorisme, dan kekerasan agama bukanlah sebuah isu tanpa maksud.
Ditambah lagi dengan program deradikalisasi. Semuanya ini adalah upaya
untuk menyerang Islam dan menghancurkan umat Islam. Artinya, jika buku
ini dimaksudkan untuk mendidik karakter sejatinya yang akan terjadi
adalah perusakan karakter siswa Muslim. Mereka tidak akan lagi menjadi
Muslim yang taat kepada Allah dan Rasul serta syariat-Nya, melainkan
mereka akan menjadi Muslim Liberal. Atau dengan kata lain menjadi Muslim
Inklusif atau Moderat. Padahal, politikus Belanda Geert Wilders mengaku
tidak percaya adanya Muslim Moderat. Wilders baru percaya ada Muslim
Moderat kalau muslim itu sudah tidak mencontoh Nabi Muhammad Saw dan
tidak melaksanakan syariat Islam. "Itu baru moderat, dan saya akan
menghormatinya," kata Wilders.
Sementara itu Maarif Institute mambantah jika dua produk bukunya ini bermuatan liberal dan bertentangan dengan fatwa MUI. “Saya justru bertanya mana letak faham itu adanya?. Saya heran kenapa bisa menjustification seperti itu kawan-kawan ini,” kata Daraz saat diwawancarai Suara Islam.
shodiq ramadhan
laporan: mesyah achreini
Sementara itu Maarif Institute mambantah jika dua produk bukunya ini bermuatan liberal dan bertentangan dengan fatwa MUI. “Saya justru bertanya mana letak faham itu adanya?. Saya heran kenapa bisa menjustification seperti itu kawan-kawan ini,” kata Daraz saat diwawancarai Suara Islam.
shodiq ramadhan
laporan: mesyah achreini
Sumber: http://www.suara-islam.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !