Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
atas segala nikmat-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Ramadhan telah menemani kita sebulan
penuh. Tiba saatnya dia pergi. Kita pun harus rela berpisah dengannya.
Padahal, di bulan itu banyak kebaikan, rahmat, dan keberkahan yang
ditawarkan. Di dalamnya, hamba Allah yang beriman, memiliki kesempatan
besar mengejar ketertinggalan pahala pada hari-hari sebelumnya. Ia pun
bisa mengubur dosa-dosa dan kesalahannya di hari-hari lalu. Bahkan, ada
Lailatul Qadar, di mana satu malam lebih mulia dari seribu bulan. Amal
kebaikan di dalamnya nilainya lebih baik daripada amal serupa dikerjakan
selama seribu bulan yang tak ada Lailatul Qadar di dalamnya.
Subhanallah, anugerah besar bagi kaum mukminin. Namun, ternyata tak
semua orang Islam bisa menyukurinya. Juga tak semua bisa sabar menahan
diri dari kesibukannya terhadap dunia dan aktifitas dosa-dosa, guna
mengisinya dengan meningkatkan ibadah, shaum, shalat, tilawah, sedekah
dan lainnya. Sehingga saat Ramadhan pergi ia menjadi manusia yang
merugi. Kenapa bisa? Karena ia tak mampu memetik pahala dan memanen
ganjaran yang berlimpah. Bahkan kesalahan-kesalahannya tak juga
dihapuskan, sedangkan dosa-dosanya belum jua diampuni.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
pernah naik ke atas mimbar. Lalu beliau mengucapkan Amiin sebanyak tiga
kali. Sebagian sahabat bertanya, "Engaku mengaminkan apa?" Kemudian
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberikan jawabannya, salah satunya:
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
"Amat merugi/hina seseorang yang Ramadhan masuk padanya kemudian Ramadhan pergi sebelum diampuni dosanya." (HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami', no. 3510)
Ya, orang yang merugi adalah mereka yang
dosanya belum terampuni setelah Ramadhan pergi. Mereka itu yang saat
berpuasa, namun tidak bisa meninggalkan berkata dusta, berbuat nista,
menyia-nyiakan waktu dan kesempatan serta yang semisalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
"Siapa yang tak meninggalkan berkata
dan berbuat dusta serta perbuatan bodoh, maka Allah tidak butuh ia
meninggalkan makan dan minumnya." (HR. al-Bukhari dan Abu Dawud
dengan lafadz miliknya) ini merupakan kinayah/kiasan bahwa Allah tiak
menerima puasa semacam itu, sebagaimana yang diutarakan Ibnu Bathal
dalam Subulus Salam.
Tanda Sukses Ramadhan
Sesungguhnya orang yang gagal dalam
mengarungi Ramadhan adalah mereka yang tak terbangun ketakwaan dalam
dirinya. Padahal tujuan dan hikmah utama dari puasa Ramadhan agar agar
pelakunya senantiasa bertakwa. Yakni bertakwa saat menjalankan puasa dan
takwa itu berlanjut sesudahnya. Oleh sebab itu, kalimat yang digunakan
dalam ayat shiyam adalah Fi'il Mudhari', kata kerja yang menunjukkan masa sekarang dan akan datang yang memiliki faidah lil istimrar (untuk sesuatu yang kontinyu). Artinya takwa itu berlanjut dan terjaga hingga sesudah Ramadhan berlalu.
Sesungguhnya balasan terbesar yang
diberikan kepada hamba beriman dan beramal shalih adalah Allah
memberinya petunjuk untuk mengerjakan amal shalih lainnya. Ini pula yang
akan didapatkan orang yang diterima amal puasanya. Keterangan ini kita
dapatkan dari balasan sabar, di mana orang yang sabar saat ditimpa
musibah, ridha akan ketetapan Allah, dan berharap pahala atas musibah
itu, maka Allah akan memberinya petunjuk.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
"Tidak ada sesuatu musibah pun yang
menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. Al-Thaghabun: 11)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata
dalam menafsirkan ayat di atas, "Maksudnya: dan siapa yang ditimpa
musibah, lalu ia menyadari itu terjadi dengan qadha' Allah dan
qadar-Nya, lalu ia bersabar, berharap pahala, dan menerima dengan lapang
terhadap ketetapan Allah itu, maka Allah beri petunjuk kepada hatinya
dan memberikan ganti yang lebih baik dari dunia yang luput darinya
dengan petunjuk dalam hatinya serta keyakinan yang benar. Boleh jadi,
Allah memberi ganti dari apa yang telah diambil-Nya yang lebih baik
darinya."
Cukup jelas dari ayat di atas, bersabar
menjadi sebab datangnya petunjuk. Dan balasan terbaik dari kesabaran
adalah dilimpahkannya petunjuk dari Allah Ta'ala. Sementara shaum dan
sabar, ibarat dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
pelaksanaan shaum terkumpul tiga macam kesabaran, yaitu sabar dalam
melaksanakan perintah Allah, sabar dalam meninggalkan larangan-Nya, dan
sabar atas musibah yang datang dari-Nya. Dan siapa yang berpuasa
Ramadhan dengan benar maka Allah akan senantiasa melimpahkan hidayah
kepada-Nya untuk menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan-larangan.
Dengan kata lain, Allah akan membantunya untuk bertakwa kepada-Nya. Ini
sangat selaras dengan tujuan dan hikmah puasa di atas.
Hidayah Adalah Balasan Terbesar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ
بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ
النَّعِيمِ
"Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh
Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai
di dalam surga yang penuh kenikmatan." (QS. Yunus: 9)
Perpaduan antara iman dengan
konsekuaensi dan tuntutannya, berupa amal shalih, -yang mancakup amal
dzahir dan batin- yang dikerjakan dengan ikhlash dan mutaba'ah (mengikuti sunnah) akan menjadi sebab datangnya hidayah, "mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya".
Maksudnya: Dengan adanya iman yang benar dalam diri mereka tersebut,
Allah membalas dengan pahala teragung untuk mereka, yaitu hidayah.
Sehingga Allah mengajarkan kepada mereka apa saja yang berguna untuk
mereka dan menganugerahkan amal-amal shalih yang menetas dari hidayah
itu. Dengan hidayah tersebut, ia bisa memahami ayat-ayat Allah yang
kauniyah maupun qur'aniyah. Sementara dalam mengarungi hidup di dunia,
ia terbimbing untuk meniti shirathal mustaqim dan komitmen di
atasnya. Adapun hidayah yang akan diraihnya di akhirat, negeri
pembalasan, ia terbimbing untuk meniti jalan yang menghantarkan ke Jannatun Na'im. Sehingga sempurnalah hidayah yang ia peroleh sebagai balasan dari keimanan yang berpadu dengan amal shalih tadi.
Dalam pelaksanaan shaum Ramadhan juga
demikian, Allah panggil hamba-hamba-Nya yang akan dikenakan kewajiban
shiyam dengan panggilan iman. Artinya, bahwa keimanan merekalah yang
distimulun untuk menjalankan shiyam. Pembenaran mereka kepada Allah dan
syariat-Nya yang penuh dengan hikmah dan kebaikan yang bidik agar
mendorongnya untuk menegakkan perintah dan menjauhi larangan dalam
pelaksanaan shiyam.
Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Hadits tentang amal-amal Ramadhan juga
menunjukkan, iman dan hanya berharap pahala kepada Allah semata menjadi
syarat untuk mendapatkan pahala besar dan ampunan. Misalnya dalam
Shahihain, syarat seseorang mendapatkan pahala berlipat tanpa batas
karena ia meninggalkan kesenangan dan makannya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dalam hadits di Shahihain lainnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa
ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wa
ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
.
. . yang merugi sesudah Ramadhan pergi adalah siapa yang gagal dalam
melaksanakan ibadah Ramadhan sehingga ia tak mendapat ampunan dosa dan
tak mendapatkan hidayah yang membimbingnya untuk lebih baik dan
bertakwa. . .
Walhasil, kesuksesan seseorang dalam
pelaksanaan shiyam Ramadhan adalah dengan ia mendapatkan hidayah dari
Allah untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hamba Allah yang
senantiasa dibimbing oleh hidayah Islam, dengan ia dipahamkan akan
urusan dien dan diberi taufik untuk menjalankannya. Karena hidayah yang
hakiki adalah yang mengandung dua hal ini; Ma'rifatul Haq Wal 'Amal Bihi
(mengetahui kebenaran dan mengamalkannya). Oleh karena itu, seseorang
yang merugi sesudah Ramadhan pergi adalah siapa yang gagal dalam
melaksanakan ibadah Ramadhan sehingga ia tak mendapat ampunan dosa dan
tak mendapatkan hidayah yang membimbingnya untuk lebih baik dan
bertakwa. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai bagian dari
orang-orang yang merugi saat Ramadhan pergi. [PurWD/voa-islam.com]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !