Alangkah terkejutnya, ketika ia
mengetahui sang mahasiswi ternyata adalah seorang mualaf. Apa yang
diceritakannya, hampir sama dengan apa yang dirasakannya.
"Saya memiliki agama dalam kehidupan saya, tetapi gagasan trinitas sungguh menjadi pertanyaan bagi saya sedari kecil. Kemudian teman saya menjelaskan prinsip Islam kepada saya, fakta bahwa tak satu pun dari para nabi adalah anak-anak Allah, Allah tidak memiliki anak, entah itu anak laki atau perempuan," ujarnya.
"Saya memiliki agama dalam kehidupan saya, tetapi gagasan trinitas sungguh menjadi pertanyaan bagi saya sedari kecil. Kemudian teman saya menjelaskan prinsip Islam kepada saya, fakta bahwa tak satu pun dari para nabi adalah anak-anak Allah, Allah tidak memiliki anak, entah itu anak laki atau perempuan," ujarnya.
Baginya, hal itu lebih masuk
akal. Sejak itu, ia mulai menjelajahi tiap literatur mengenai islam.
"Saya hampir sepanjang hari berselancar di dunia maya untuk mengetahui
prinsip Islam tentang ini atau itu. Saya menjadi hampir terobsesi
dengan itu," ujarnya.
Hingga akhirnya, timbul
keinginan untuk memeluk Islam. Namun, ia selalu ragu. "Apa kata
keluarga saya nanti? Apa komentar teman-teman? Apakah saya siap untuk
tidak minum alkohol dan konsisten melakukan shalat lima kali sehari?
Tapi di atas semua itu, faktor keluarga yang paling dominan," tambahnya.
Matthew besar dalam keluarga
yang hangat. Kedua orang tuanya adalah penganut Katholik yang taat.
"Saya tak ingin melukai mereka dengan berpindah agama," katanya.
Namun suatu hari ia terbangun
dan menyadari tak ingin menipu diri sendiri. "Saya tahu apa yang ada di
hati saya, lakukan saja. Jadi saya pergi ke teman-teman Muslim saya dan
berkata, "Bagaimana Anda benar-benar menjadi seorang Muslim dan apa
yang harus saya katakan?" Ia pun bersyahadat dituntun teman-temannya.
Ia ingat, syadat itu
diucapkannya menjelang Natal 2006. "Sungguh bukan momen yang pas untuk
memberitahu keluarga saya tentang keislaman saya," ujarnya.
Ia memulai dengan ibu dan
adik-adiknya, karena mengaku pada sang ayah, ia belum berani. "Itupun,
saya hanya menunjukkan buku-buku tentang Islam pada mereka dan bilang
'aku sedang baca buku ini' dan mereka terkejut," ujarnya.
Sang ibu diam-diam turut membaca
buku itu. Sehingga, saat ia hendak memberitahukan telah menjadi mualaf,
sang ibu sudah menebaknya. Ia terharu saat sang ibu bilang: "Apa pun
yang kau ingin lakukan dalam hidup aku akan mendukungmu. Jika kau
senang, aku ikut bahagia." Namun ia meminta sang ibu merahasiakannya
dari ayahnya.
Menemukan tambatan hati
Menjadi Muslim, ia mengaku
hidupnya lebih tertata. Ia memang tak minum minuman keras, tapi ia tak
kehilangan teman-temannya. melihat pergaulan bebas di London, ia
berpikir untuk menikah, agar tak berzina.
Tekadnya satu, istrinya haruslah
seorang Muslimah. Itu sebabnya, ia mendaftar ke situs perjodohan
Muslim. Di situs itulah ia bertemu dengan Sumia, seorang gadis keturunan
India yang ternayat kuliah di kampus yang sama. Sumia tengah mengambil
gelar master untuk bidang ilmu keperawatan.
Saat keduanya merasa cocok,
pernikahanpun dirancang. "Saat mengenalkan Sumia, saya mengaku pada ayah
bahwa saya telah menjadi seorang Muslim," ujarnya. Ayahnya sempat
berang, namun akhirnya menerima. "Dia bahkan sangat sayang pada Sumia."
Bagi Matthew, Sumia adalah "hadiah" dari Allah setelah ia menjadi Muslim. Dan, ada satu "bonus" lainnya: berhaji.
Ya, keduanya dianggap oleh situs
yang menjodohkannya sebagai "pasangan terhebat" yang bertemu melalui
situs itu dan menginspirasi banyak orang. Maka Oktober tahun lalu,
keduanya menunaikan ibadah haji.
"Sungguh itu berkah yang tak terduga, Subhanallah," ujar calon dokter ini.
Sumber: Singlemuslim, menmedia.co.uk, republika.co.id
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !